RESUME 1
SISTEM INFORMASI PERENCANAAN
SISTEM INFORMASI PERENCANAAN
UNDANG-UNDANG NOMOR 4 TAHUN 2011 TENTANG INFORMASI GEOSPASIAL DALAM RANAH PERTANAHAN
1. Mengenal Undang-Undang Informasi Geospasial
Undang-undang Informasi Geospasial yang dinantikan saat ini telah terbit. RUU tentang Informasi Geospasial (RUU-IG) yang diajukan Pemerintah kepada DPR-RI pada tanggal 16 Februari 2010 lalu, setelah disetujui dalam Rapat Kerja Komisi VII DPR-RI akhirnya disahkan dalam Sidang Paripurna DPR-RI pada 5 April 2011 di Gedung DPR RI Senayan Jakarta. Sebelum dibahas dalam sidang Paripurna DPR RI, Pemerintah yang diwakili Menteri Negara Riset dan Teknologi, Suharna Surapranata, dan pimpinan Komisi VII telah menandatangani naskah persetujuan tersebut. Selanjutnya naskah otentik RUU-IG serta penjelasannya pun telah diparaf para pimpinan fraksi di Komisi VII dan Kepala Bakosurtanal, Asep Karsidi, sebagai wakil pemerintah.
Sebagaimana yang diketahui, dalam dictum menimbang UU nomor 4 Tahun 2011 tersebut, terdapat dua pikiran pokok yang telah mendasari hadirnya Undang-undang Informasi Geospasial ini yaitu :
- bahwa dalam mengelola sumber daya alam dan sumber daya lainnya serta penanggulangan bencana dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan wilayah yurisdiksinya diperlukan informasi geospasial
- agar informasi geospasial dapat terselenggara dengan tertib, terpadu, berhasil guna, dan berdaya guna sehingga terjamin keakuratan, kemutakhiran, dan kepastian hukum, maka perlu pengaturan mengenai penyelenggaraan informasi geospasial.
- untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, dimasa kini dan masa yang akan datang, sebagaimana diamanatkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945.
- hadirnya UU-IG merupakan satu jaminan yang melengkapi hak dalam memperoleh informasi untuk meningkatkan kualitas pribadi dan kualitas lingkungan sosial sebagaimana dituangkan pada Pasal 28F, UUD 1945 bagi segenap Warga Negara Indonesia (WNI).
- menjamin ketersediaan dan akses terhadap IG yang dapat dipertanggungjawabkan;
- mewujudkan penyelenggaraan IG yang berdaya guna dan berhasil guna melalui kerja sama, koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi;
- mendorong penggunaan IG dalam penyelenggaraan pemerintahan dan dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat.
- Bagi segenap WNI diberikan kemerdekaan untuk dapat mengakses dan memperoleh IGD dan sebagian besar IGT untuk dipergunakan dan dimanfaatkan dalam berbagai aspek kehidupan. Masyarakat pun dapat berkontribusi aktif dalam pelaksanaan penyelenggaraan IG, untuk dapat menumbuhkan dan mengembangkan industri IG dengan baik.
- Bagi Pemerintah ; segenap penyelenggaraan pemerintahan baik di pusat maupun di daerah yang terkait dengan geospasial (ruang-kebumian) wajib menggunakan IG yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan. Penggunaan IG yang akurat dan dapat dipertanggungjawabkan tersebut diharuskan karena mengingat bahwa IG yang digunakan oleh segenap penyelenggaraan pemerintah tersebut terbuka untuk umum (WNI) yang sewaktu-waktu dapat diakses dan digunakan pula oleh masyarakat.
2. Eksistensi UU Nomor 4 Tahun 2011 dalam Bidang Pertanahan.
Kehadiran Undang-Undang tentang Informasi Geospasial tentu saja berpengaruh terhadap semua kegiatan pemetaan yang dilakukan baik secara manual maupun digital. Kehadiran UU tersebut secara langsung bertujuan mengadakan unifikasi kegiatan pemetaan secara nasional dengan menggunakan dasar yang sama. Hal ini diatur dalam Pasal 22 dan Pasal 23 UU No. 4 tahun 2011. Di dalam Pasal 22 mengatur bahwa Badan Informasi Geospasial (sebagai pengganti Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional) bertanggung jawab dalam penyelenggaraan IGD (Informasi Geospasial Dasar). Sedangkan penyelenggaraan IGT (Informasi Geospasial Tematik) dilakukan oleh Instansi Pemerintah atau Pemerintah daerah dan atau setiap orang berdasarkan tugas, fungsi, dan kewenangannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan (pasal 23). Pembuatan IGT sebagaimana yang dijelaskan pasal 19 dan 20 wajib mengacu pada IGD.
Pembuatan IGD secara manual dan digital diatur dalam pasal 27 dan 31 UU tersebut. Asal 27 mengatur bahwa pelaksanaan pengumpulan data geospasial dapat dilakukan secara langsung melalui survey, pencacahan maupun dengan memanfaatkan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Sementara pengolahan data geospasial tersebut dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak yang berlisensi dan/atau bersifat bebas dan terbuka.
Terkait dengan pengolahan IGD, pasal 34 mengatur bahwa pemrosesan data geospasial harus dilakukan sesuai dengan standar yang meliputi :
- Sistem proyeksi dan sistem koordinat yang dengan jelas dan pasti dapat ditransformasikan ke dalam sistem koordinat standar nasional, dan
- format, basisdata, dan metadata yang dapat dengan mudah diintegrasikan dengan IG lain
Dengan demikian melalui pengaturan ini maka perwujudan unifikasi kegiatan pemetaan dapat dilakukan sebab setiap peta yang akan dihasilkan memiliki dasar, sistem koordinat dan sistem proyeksi yang sama.
Badan Pertanahan Nasional RI sebagai salah satu instansi yang berkecimpung dalam kegiatan pengukuran dan pemetaan di bidang kadastral, sedah pasti merasakan dampak kehadiran undang-undang ini dalam kegiatan pengukuran dan pemetaannya. Dalam bidang pemetaan BPN RI telah mengeluarkan buku Norma, Standar, Pedoman dan Mekanisme (NSPM) Survei dan Pemetaan Tematik Pertanahan Edisi II Tahun 2009 yang diterbitkan oleh Direktorat Pemetaan Tematik untuk menjadi acuan pelaksanaan survei dan pemetaan tematik bagi jajaran Survei, Pengukuran dan Pemetaan Pertanahan baik di pusat, kantor wilayah dan kantor pertanahan kabupaten/kota. Dengan dikeluarkannya Undang-undang tersebut maka sudah seharusnya diperlukan penyesuaian segala bentuk aturan, petunjuk dan pedoman yang berhubungan dengan kegiatan pengukuran dan pemetaan instansi BPN RI dilakukan terhadap standar yang ditetapkan oleh Badan Informasi Geospasial.
2. Bagaimana Penjabaran UU No. 4 tahun 2011 tentang Informasi geospasial dijalankan BPN.
Ditengah keadaan yang mulai mempertanyakan keberhasilan tujuan pemberian kepastian hukum melalui legalisasi asset dan pembuatan Rancangan Undang-Undang Pertanahan yang belum tuntas, kehadiran UU Nomor 4 tahun 2011 sudah sepatutnya disambut gembira oleh setiap instansi pemerintah termasuk BPN RI. Hadirnya UU tersebut adalah sejalan dengan pelaksanaan tugas Badan Pertanahan Nasional RI. Sebagaimana yang telah diuraikan sebelumnya kehadiran Undang-undang Nomor 4 tahun 2011 ini didedikasikan untuk mendukung pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya di negeri ini bagi kemakmuran seluruh rakyat Indonesia, dimasa kini dan masa yang akan datang, sebagaimana diamanatkan pasal 33 ayat (3) UUD 1945. Hal ini selaras dengan konsep dasar hukum Agraria yang saat ini menjadi dasar pelaksanaan tugas BPN RI yang juga merupakan penjabaran lebih lanjut dari pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut.
Dalam pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah sebagaimana yang diuraikan dalam PP 24 Tahun 1997. Pendaftaran tanah yang dilakukan bertujuan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum, menyediakan informasi di bidang pertanahan dan perwujudan tertib administrasi pertanahan. Dari ketiga tujuan tersebut, aspek kepastian hukum merupakan tujuan utama yang ingin dicapai dalam kegiatan pendaftaran tanah Hal ini selaras dengan 7 (tujuh) azas dalam tubuh UU Nomor 4 Tahun 2011 diantaranya yakni azas kepastian hukum dan keterbukaan (Pasal 2).
Dalam rangka mewujudkan kepastian hukum tersebut Pasal 21 Undang-undang Nomor 4 tahun 2011 tentang Informasi Geospasial mengatur pula tentang hal penetapan batas dalam IGT. Pasal 21 menyebutkan bahwa IGT yang menggambarkan suatu batas yang mempunyai kekuatan hukum dibuat berdasarkan dokumen penetapan batas secara pasti oleh Instansi Pemerintah yang berwenang. Dengan demikian sesungguhnya pengaturan tersebut telah melegalkan posisi hukum yang lebih kuat bagi pelaksanaan penetapan batas oleh BPN RI yang semula hanya dikukuhkan dengan Pasal 17, 18 dan 19 PP 24 tahun 1997. Sementara dalam rangka kegiatan pemeliharaan data pendaftaran tanah tersebut Pasal 11 menyatakan bahwa Setiap orang wajib menjaga tanda fisik jaring kontrol geodesi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (2)/Jaring Kontrol Horisontal Nasional, Pasal 9 ayat(2)/ Jaring Kontrol Vertikal Nasional, dan Pasal 10 ayat (2)/ Jaring Kontrol Gaya berat Nasional. Selanjutnya penegasan yang sama diuraikan kembali pada Pasal 58 UU Nomor 4 tahun 2011 yang menyatakan bahwa Setiap orang yang tanpa hak dan melawan hukum dilarang menghilangkan, merusak, mengambil, memindahkan, atau mengubah tanda fisik yang merupakan bagian dari JKHN, JKVN, dan JKGN serta instrumen survei yang sedang digunakan. Dalam aspek pertanahan hal ini dapat bermanfaat bagi kelestarian data pendaftaran tanah dan mencegah terjadinya perpindahan batas tanah yang dilaksanakn dengan sengaja.
Untuk itu menanggapi hadirnya UU No. 4 Tahun 2011, BPN sudah semestinya melakukan penyesuaian atas standar yang ditetapkan oleh BIG khususnya dalam bentuk peraturan tertulis maupun petunjuk teknis. Hal ini harus sedini mungkin dilakukan guna menunjang segala aktifitas maupun kegiatan yang dilaksanakan dalam instansi BPN itu sendiri.
Sumber : http://wwwferysblog-ferryrabu.blogspot.com/2011/05/eksistensi-undang-undang-nomor-4-tahun.html
Sumber : http://wwwferysblog-ferryrabu.blogspot.com/2011/05/eksistensi-undang-undang-nomor-4-tahun.html
No comments:
Post a Comment